Syair Kiai Akyas Buntet dan Perolehan Suara Partai NU

KH Akyas Abdul Jamil Buntet. (Foto: dok. istimewa)

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama. Setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Wahhabi menjadi sekolah resmi Arab Saudi, dan lahir di komunitas internasional sejak saat itu sebagai tanggapan atas kerusuhan agama.


Tentu ia dilahirkan untuk mendapatkan pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan ulama NU, sehingga setidaknya mereka masih bisa mengajak warga muslim dunia untuk melakukan ritual dan mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW seperti sebelumnya.


Namun dari segi pembangunan dalam negeri, setelah resmi keluar dari Majelis Muslim Indonesia Asura (Masyumi), NU berubah menjadi partai politik pada 3 Juli 1952. KH Moh Dachlan, KH Abdul Wahab Chasbullah,  KH Masjkur, KH Wahid Hasyim, dan KH Zainul Arifin mundur dari federasi.


Kemudian pada tanggal 17 September 1952, saat sidang dilangsungkan, tujuh anggota Masyumi membentuk Fraksi NU, yaitu AA Assien, AS Bachmid, Idham Chalid, Mochammad Iljas, RT Moch Saleh Surjoningprodjo, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Zainul Arifin.


Tentu banyak alasan NU mundur dari Masyumi, seperti adanya pembatasan kekuasaan di panitia Syura yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah. KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya menyebutkan "Meninggalkan Pesantren" (1987) bahwa semua anggota Majelis Syura bukan dari kalangan NU, surat suara diabaikan kecuali jika menguntungkan DPP.


Belum lagi pelarangan tokoh NU pada posisi tertentu, khususnya di kalangan menteri agama. Saat itu, KH Abdul Wahid Hasyim tidak mau dicalonkan lagi karena tidak ingin memanas-manasi konflik di lingkungan Masyumi. Tak pelak, Menteri Agama yang terpilih adalah KH Fakih Usman yang merupakan wakil dari Muhammadiyah.


Greg Fealy menyimpulkan dalam bukunya "Ijtihad Politik Ulama (Ijtihad Politik Ulama: NU 1952-1967) History" (2003) bahwa politik NU Tujuannya terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) mengalokasikan dana pemerintah kepada warga NU, (2) ) memperoleh peluang usaha dari pemerintah, dan (3) memperoleh kursi di birokrasi. Tak hanya itu, NU juga dituding sebagai partai oportunistik dan adaptif. Kecurigaan itu ditengarai karena NU berusaha tidak menghalangi perkembangan pemerintah.


Padahal, politik bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sekadar perantara (washilah) untuk memenuhi kebutuhan sosial, tidak hanya menyangkut masalah sekuler, termasuk masalah sosial ekonomi, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan perkawinan, zakat, warisan, sholat dan Ramadhan.


Apalagi, kepergian NU sebenarnya mengejutkan pada pemilihan umum (Pemilu) 1955. Ini menerima suara tertinggi ketiga, yang menyumbang 18,4% dari total suara, diikuti oleh Masyumi dengan 20,9% suara. Pemungutan suara kali ini memberi NU 45 kursi di Partai Demokrat. 


Dari sini, saya teringat puisi KH Akyas Abdul Jamil Buntet Pesantren Cirebon. Puisi ini ditulis oleh KH Ahmad Syauqi, Sekretaris Jenderal Buntet Pesantren Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI), di akun Facebooknya. Puisi ini didapatnya dari ayahnya KH Chowas Nuruddin.


Menurutnya, puisi ini dibacakan dengan santai oleh Kaii Akyas, dan tidak menarik perhatian masyarakat sekitar. Meski begitu, puisi ini sepertinya masih bisa menjawab kebingungan Kia dan komunitas pesantren untuk menyampaikan aspirasi politiknya kepada NU atau Masyumi. Berikut puisi-puisi yang ditulis dalam bahasa wafir, serta campuran bahasa Arab dan bahasa Indonesia.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak