Oleh: Rohmat Yazid Nashiruddin*)
Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang berisi berbagai macam problematika kehidupan. Al-Qur’an sebagai petunjuk memberikan solusi terhadap manusia untuk menghadapi masalahnya serta mengarahkan manusia pada satu cara hidup tertentu. Benar, Al-Qur’an telah final cakupan ayatnya dan memiliki sistematika serta kerangka yang baku. Hal itu senada dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Isra ayat 115:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: "Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur'an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al Isra:115).
Akan tetapi kebutuhan umat manusia, khususnya pemuda belum terpenuhi jika hanya dengan sistematisasi, percetakan dan pendistribusian. Terdapat kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi, yakni menangkap pesan atau hikmah serta isi petunjuk dari Al-Qur’an secara persis, terperinci dan komprehensif.
Dengan adanya fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk itulah yang membedakan Al-Qur’an dengan filsafat, karena Al-Qur’an adalah kitab yang menjelaskan dan dimudahkan untuk dipahami dan diingat. Sehingga feedback yang akan didapatkan oleh manusia dalam memahami isi petunjuk Al-Qur’an adalah menyinari akalnya dan menggerakkan hatinya.
Salah satu isi penting yang dapat kita temukan dalam Al-Qur’an adalah Allah menciptakan manusia supaya menjadi khalifah di bumi. Dari sinilah muncul pertanyaan: Bagaimana memajukan harkat dan martabat manusia dalam rangka mengemban khalifah di muka bumi ini? Suatu pertanyaan mendasar untuk kita sebagai manusia. Dalam hal ini tentu saja jawabannya tidak lain adalah kaum remaja atau pemuda sebagai penerus estafet di masa mendatang. Sebagaimana ungkapan pepatah Arab: “Inna fi yadi al-syubban amr al-ummah, wa fi iqdamiha hayataha.” Bahwa, sesungguhnya pada tangan pemuda terletak urusan umat dan pada kemajuan mereka terletak hidupnya umat ini.
Tak dapat dipungkiri memang kenyataan itulah yang sedang kita hadapi, terlepas dari berbagai masalah yang sedang ada di negeri ini. Pada dasarnya sebagaimana di dalam kamus Mu’ajamul Arab terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara dua term pemuda dalam kata bahasa arab yaitu antara شاب dan فتى . Penggunaan dan pemilihan kata sangat penting untuk kita telusuri guna mendapatkan kesesuaian makna yang tepat untuk kaum pemuda sehingga mereka dapat meresapi dan mengahayati serta merefleksikan apa yang termuat di dalam kata tersebut.
Kata فتى ternyata lebih kompleks maknanya dari pada kata شاب. Kata pertama mengandung arti bahwa pemuda yang permulaan masa remajanya di antara مراهقة (masa puber) dan رجولة (kedewasaan), sedangkan شاب artinya seseorang yang sudah baligh, akan tetapi belum mempunyai karakter kedewasaan. Oleh karena itulah Al-Qur’an menggunakan kata fataa di dalam beberapa ayatnya.
Di sinilah makna transendental dibutuhkan, untuk menginterpretasikan dalam kehidupan manusia, khususnya bagi kaum remaja. Makna transendental yang dimaksud adalah suatu kategori yang bersifat abstrak yang memiliki aspek kerohanian dan spiritual. Karena disadari atau tidak, secara alamiah manusia dalam tinjauan kasus ini remaja sentralnya mendekati apa yang baik dan menghindari apa yang buruk. Telaah ini mengasumsikan integrasi gerak di masa yang akan datang, bagaimana pandangan Al-Qur’an pada remaja dalam melihat kenyataan di era digital ini?
Solusi yang dianjurkan oleh Al-Qur’an di antaranya ialah tafaqquh fiddin (bersungguh-sungguh di dalam agama). Suatu problem fundamental yang sedang dialami oleh kaum remaja. Arus globalisasi dan masyarakat agrikultur membuat para remaja seakan menganggap belajar agama sebagai suatu hal yang kolot dan kuno. Padahal di era serba digital ini, kekhawatiran muncul dengan banyaknya distorsi di dalam konten digital.
Dalam konteks ini, Nabi sudah memprediksi dengan sabdanya: Antum a’lamu bisyuuni dunyakum (Artinya: kalian lebih tahu tentang urusan/perkara dunia kalian). Maka, untuk mencegah distorsi di era digital ini perlu adanya spiritual dan mengaplikasikan makna transendental dalam tafaqquh fidin, yakni diimplementasikan dengan mengisi platform media sosial dengan ajaran Al-Qur’an mengingat teknologi informasi telah berkembang pesat.
Tentu saja meski tidak kita jaga dan lestarikan, Al-Qur’an telah terjaga karena notabenenya ia adalah kalamullah. Namun, sebagai generasi Muslim yang bijak sudah sepatutnya menunaikan nilai-nilai dalam Al-Qur’an, sehingga ia tak hanya menjadi bacaan melainkan dijadikan pembentuk kepribadian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. At Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya: "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya".
*) Rohmat Yazid Nashiruddin, mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT) IAIN Kudus.